Mengingat Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
ketidaksesuaian Undang-Undang No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dengan
kondisi saat ini, maka dibuatlah Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang.
Undang-undang ini terdiri dari 13 Bab dan 80 Pasal. Ruang
lingkup peraturan ini meliputi Bab I Ketentuan Umum, Bab II Asas dan Tujuan,
Bab III Klasifikasi Penataan Ruang, Bab IV Tugas dan Wewenang, Bab V Pengaturan
dan Pembinaan Penataan Ruang, Bab VI Pelaksanaan Penataan Ruang, Bab VII
Pengawasan Penataan Ruang, Bab VIII Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat, Bab IX
Penyelesaian Sengketa, Bab X Penyidikan, Bab XI Ketentuan Pidana, Bab XII
Ketentuan Peralihan, dan Bab XIII Ketentuan Penutup.
Peraturan ini menjelaskan bahwa penyelenggaraan penataan
ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional. Untuk menjamin tercapainya tujuan tersebut, maka dilakukan pengawasan
terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang.
Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi
utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis
kawasan. Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada
Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pengaturan penataan ruang dilakukan melalui penetapan
ketentuan peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang termasuk pedoman
bidang penataan ruang.
Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan
ruang dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa
penataan ruang pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah
untuk mufakat.
contoh pengaplikasiannya yaitu
UU No.26/Tahun 2007 tentang tata ruang mengamanatkan bahwa
setiap kota harus memiliki luas lahan Ruang Terbuka Hijau minimal 30% terdiri
dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Penataan Ruang Terbuka Hijau (PRTH)
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Daerah.
Dalam kasus ini pengaplikasiannya terdapat pada pembukaan
lahan Hijau di Semarang.
Namun Pemerintah Kota Semarang terlambat merespon UU No. 26
Tahun 2007, karena dasar hukum tentang tata ruang yang digunakan masih merujuk
UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Perkembangan terakhir ditemukan
bahwa Pemerintah Kota Semarang masih merumuskan Raperda pengganti Perda No.5
Tahun 2004 tentang RTRW. Di dalam pasal 78 ayat 4 (c) BAB XIII Ketentuan
Penutup UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatakan bahwa “semua
peraturan daerah kabupaten/ kota tentang rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota disusun atau disesuaikan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung
sejak Undang-Undang ini diberlakukan”. UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang sudah diundangkan sejak tanggal 26 April 2007.
Ini menunjukkan bahwa kurang adanya ke pemberitahuan tentang
adanya perubahan undang-undang yang berlaku untuk saat ini. Dan kurangnya
kesadaran pemerintahan daerah Semarang untuk mencari tau tentang perubahan dari
undang-undang tersebut.
Pasal 5 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007,
mengandung penetapan dua fungsi kawasan utama, yaitu kawasan lindung dan
kawasan budidaya yang dibagi ke dalam beberapa sub-kawasan yang akan
memperjelas fungsi sesuai tata guna (peruntukan ruang/lahan) sektoral yang satu
sama lain saling melengkapi (komplementer).
http://perkim-bappenas.info/index.php?prm_page_id=1&prm_id=2&prm_type_id=2&prm_parent_id=1&is_view=1&prm_doc_cat_id=8
http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=106
http://eprints.undip.ac.id/15531/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar