Kamis, 12 Januari 2017

KETENTUAN DAN PERATURAN PEMBUATAN PETA (part 3)

     Mengingat Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan ketidaksesuaian Undang-Undang No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dengan kondisi saat ini, maka dibuatlah Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

     Undang-undang ini terdiri dari 13 Bab dan 80 Pasal. Ruang lingkup peraturan ini meliputi Bab I Ketentuan Umum, Bab II Asas dan Tujuan, Bab III Klasifikasi Penataan Ruang, Bab IV Tugas dan Wewenang, Bab V Pengaturan dan Pembinaan Penataan Ruang, Bab VI Pelaksanaan Penataan Ruang, Bab VII Pengawasan Penataan Ruang, Bab VIII Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat, Bab IX Penyelesaian Sengketa, Bab X Penyidikan, Bab XI Ketentuan Pidana, Bab XII Ketentuan Peralihan, dan Bab XIII Ketentuan Penutup.

     Peraturan ini menjelaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Untuk menjamin tercapainya tujuan tersebut, maka dilakukan pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang.

     Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

     Pengaturan penataan ruang dilakukan melalui penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang termasuk pedoman bidang penataan ruang.

     Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.

contoh pengaplikasiannya yaitu

     UU No.26/Tahun 2007 tentang tata ruang mengamanatkan bahwa setiap kota harus memiliki luas lahan Ruang Terbuka Hijau minimal 30% terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Penataan Ruang Terbuka Hijau (PRTH) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah.

Dalam kasus ini pengaplikasiannya terdapat pada pembukaan lahan Hijau di Semarang.

     Namun Pemerintah Kota Semarang terlambat merespon UU No. 26 Tahun 2007, karena dasar hukum tentang tata ruang yang digunakan masih merujuk UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Perkembangan terakhir ditemukan bahwa Pemerintah Kota Semarang masih merumuskan Raperda pengganti Perda No.5 Tahun 2004 tentang RTRW. Di dalam pasal 78 ayat 4 (c) BAB XIII Ketentuan Penutup UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatakan bahwa “semua peraturan daerah kabupaten/ kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota disusun atau disesuaikan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan”. UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang sudah diundangkan sejak tanggal 26 April 2007.

     Ini menunjukkan bahwa kurang adanya ke pemberitahuan tentang adanya perubahan undang-undang yang berlaku untuk saat ini. Dan kurangnya kesadaran pemerintahan daerah Semarang untuk mencari tau tentang perubahan dari undang-undang tersebut.

     Pasal 5 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, mengandung penetapan dua fungsi kawasan utama, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya yang dibagi ke dalam beberapa sub-kawasan yang akan memperjelas fungsi sesuai tata guna (peruntukan ruang/lahan) sektoral yang satu sama lain saling melengkapi (komplementer).

sumber: 
http://perkim-bappenas.info/index.php?prm_page_id=1&prm_id=2&prm_type_id=2&prm_parent_id=1&is_view=1&prm_doc_cat_id=8
http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=106
http://eprints.undip.ac.id/15531/




Tidak ada komentar:

Posting Komentar